Oleh Bagindo Yohanes Wempi
Jembatan Beratap Kampung Aro masih Penulis temukan dalam kondisi “rancak”, masih sempat mandi, sering terjun bebas dari jembatan itu ke dasar sungai Batang Ulakan, itu kenangan terindah dimasa kecil bersama anak Nagari Koto Tinggi Koto Marapak, Enam Lingkung, Padang Pariaman.
Jembatan beratap tersebut dibangun secara bergotong royong oleh anak nagari. Cerita nan tuo-tuo bahwa dana pembeli kayu, sipaku dan atok bingkawan dari hasil badoncek, Alhamdulillah jembatan kokoh berdiri.
Nah itu terakhir kali Penulis menikmati jembatan yang ada atapnya, sekarang jembatan itu sudah diganti jembatan beton dibangun oleh negara.
Era dibawah tahun 90an masih ada jembatan yang pakai atap ini, catatan dari ajo Piaman yang tinggal di Belanda, Prof Suryadi dosen Universitas Leiden mengatakan bahwa jembatan beratap itu karya teknologi karya orang Minangkabau dan sudah ada semenjak zaman dahulu kala sebelum Belanda masuk.
Dari kutipan penjelasan ajo Prof Suryadi mengatakan bahwa Overdekte brug (jembatan tertutup) atau lebih tepat disebut jembatan beratap adalah salah satu mode konstruksi jembatan yang banyak terdapat di Minangkabau pada masa lampau sampai era tahun 90an. Foto-foto jembatan ini dapat dilihat di beberapa perpustakaan dan museum di Belanda.
Juga dilansir oleh Padangkita.com dari Perpustakaan Foto Digital KITLV milik Universitas Leiden, Belanda, ditemukan beberapa foto jembatan beratap dari beberapa wilayah di Sumatra’s Westkust (Pantai Barat Sumatera).
Menurut Suryadi, pakar filologi dan pengajar di Universitas Leiden, Belanda, jembatan seperti ini mungkin dapat dibilang sebagai hasil teknologi orang Minangkabau asli. Hingga kini belum ditemukan penjelasan kultural mengapa dulu hampir setiap jembatan di Minangkabau diberi atap.
“Mungkin hal itu terkait dengan kenyataan bahwa pada zaman dulu kebanyakan orang bepergian dengan jalan kaki. Jembatan memberikan rasa nyaman dan adem, dan oleh karenanya menjadi semacam tempat untuk melepas lelah sesaat tanpa harus pergi jauh dari area/badan jalan,” tulisnya Suryadi di Blog pribadinya niadilova.wordpress.com.
Menurut pemikiran Penulis disamping memiliki fungsi seperti disampaikan oleh Prof Suryadi diuraian diatas Penulis juga menilai bahwa jembatan beratap ini juga bisa tahan lama karen konstruksinya dilindungi oleh atap yang bisa mengantisipasi hujan dan panas mata hari.
Jembatan beratap memiliki multifuksi baik secara sosial, budaya dan teknologi pada masa itu, sekarang pertanyaannya apakah jembatan itu boleh atau bisa dikasih atap, diterapkan kembali teknologi orang Minang lama itu untuk kebaikan jembatan yang dibangun. Menuntut Penulis sangat “rancak” dibangun atap jembatan tersebut untuk menghemat pemeliharaan jembatan yang nilai pembangunan sekarang puluhan milyar.
Jembatan atap jika diterapkan lagi teknologinya, ini menjadi inspirasi juga bagi dunia keinsinyuran khusus jembatan dan ini sebagai sarana untuk mempertahan keunikan masyarakat Minang yang perlu dilestarikan, apalagi bernilai baik dan efesien dalam penguna anggaran pemeliharaan
Sekarang Penulis hanya bisa mengenang bahwa dahulu dikampung Penulis ada jembatan beratap, jembatan yang Penulis pernah mandi-mandi dan beristirahat sepulang sekolah sambil melihat ikan-ikan dalam sungai.