Oleh Advokat Ki Jal Atri Tanjung (Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat).
MMNews – Politik bagi Muhammadyah merupakan hal penting dan strategis untuk mencapai tujuan Perserikatan Muhammadyah Baldatun Tahayyibatun wa rabbun ghafur dan juga merupakan cita-citanya bangsa mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Politik Muhammadyah adalah Politik Berkemajuan, Politik Kebangsaan, Politik Kenegaraan dan Kebijakan Publik.
Muhammadyah berpaham politik bahwa politik itu merupakan salah satu aspek dari mu’amalah duniawiyah (al-umur al-dunyawiyah) yang harus di jiwai, dibingkai dan diarahkan oleh nilai-nilai ajaran Islam.
Muhammadyah dan Politik Praktis.
Perjuangan melalui Partai Politik atau Politik Praktis bukan berarti tidak penting bagi Muhammadyah, baik dalam kontek keislaman maupun keumatan dan bagi misi gerakannya sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi munkar serta tajdid dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Politik Praktis yang berjuang melalui Partai Politik dan Pemerintahan merupakan hal penting dan strategis, namun Muhammadyah tidak menempuhnya karena sejumlah alasan antara lain : (1) Perjuangan melalui partai politik atau politik praktis merupakan ranah ijtihad, sehingga Muhammadyah boleh tidak menempuhnya dan lebih memilih perjuangan dakwah kemasyarakatan ;
(2) Menggarap dakwah kemasyarakatan tidak kalah penting dan strategis bagi perjuangan Islam dan bangsa serta Muhammadyah lebih terfokus dan leluasa melakukannya; (3) Muhammadyah dapat memerankan perjuangan kebangsaan melalui fungsi-fungsi taktik strategisnya sebagai organisasi kemasyarakatan yang besar dalam mempengaruhi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan sepanjang sejarahnya layaknya kekuatan kelompok kepentingan; (4) Menyatukan diri antara organisasi dakwah kemasyarakatan dan partai politik ternyata banyak masalah, konflik, dan hanya menjadikan dakwah sebagai alat partai politik belaka ; (5) Pengalaman Muhammadyah dengan Sarekat IsIam dan Masyumi atau partai politik apapun terbukti telah mereduksi kepribadian, kiprah dakwah, amal usaha, dan oreantasi gerakannya ; dan (6) Pembagian peran dan fungsi Muhammadyah dengan partai politik serta tidak adanya penyatuan diri dan rangkap jabatan antara keduanya, jauh lebih memberikan keleluasaan untuk berjuang optimal dan terfokus di tanah masing-masing yang muaranya menuju pada membangun kejayaan Islam dan umat Islam (lil-‘ijjati al-Islam wa al-muslimin), terwujudnya negara utama yang berkeadaban mulia (Baldatun Tahayyibatun Wa Rabbun Ghafur), serta tegaknya peradaban Islam sebagai rahmatan lil-alamin.
Khittah Muhammadyah.
Sejak Khittah Muhammadyah Palembang 1956 sampai Khittah Muhammadyah Denpasar 2002 harus diletakkan dalam sketsa besar dan luas atas sejarah dan perjalanan panjang Muhammadyah, hingga usianya lebih dari satu abad dan meminjam pendapat Amien Rais, bahwa partai politik datang dan pergi atau timbul dan tenggelam (up and down) di panggung sejarah, tetapi Muhammadyah sebagai gerakan dakwah, InsyaAllah akan tetap abadi untuk perjuangan “Menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam, sehingga terwujud masyarakat IsIam yang sebenar benarnya” di Indonesia dan di muka Bumi ini.
Muhammadyah dan Kader Politik.
Muhammadyah mendorong para kadernya untuk optimal berkiprah di partai politik apapun dengan semangat mengemban misi Muhammadyah, sekaligus berkiprah untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia. Dorongan dari Muhammadyah memang belum maksimal, tetapi bukan berarti secara kelembagaan Muhammadyah menghalangi, menghambat, membunuh karir atau potensi politik para kadernya. Potensi politik para kadernya tetap mendapatkan dukungan moril dari Perserikatan Muhammadyah dan dukungan untuk keberhasilan memenangkan kadermu pada agenda politik praktis, sehingga pembinaan dan pengembangan kualitas kader politik selalu dilakukan, terutama melalui Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP).
Darul Ahdi wasy -syahadah.
Posisi Muhammadyah tetap konsisten untuk tidak terlibat sebagai bagian dari politik partisan, baik partisan kepada partai politik tertentu maupun kepada calon pemimpin eksekutif tertentu termasuk konglomerat. Di tengah kompleksitas relasi Muhammadyah dan politik yang dinamis tersebut, Muhammadyah akan selalu memperhatikan dan memberikan dukungan kepada para kader dan anggota Muhammadyah yang akan maju berkompetisi sebagai kondidat di eksekutif maupun legislatif tanpa harus membawa simbol organisasi.
Gagasan Pancasila sebagai Darul Ahdi wasy-syahadah yang menjadi keputusan Muktamar ke – 47 Muhammadyah di Makassar 2015 dan sejumlah nilai-nilai lainnya yang ada di Muhammadyah merupakan nilai-nilai yang selalu disampaikan dalam agenda kegiatan dan forum-forum Muhammadyah. Nilai-nilai perjuangan di Muhammadyah tidak selalu harus berprestasi material, karena ber muhammadiyah memberikan manfaat sosial dan spiritual yang mungkin tidak kita jumpai ketika kita melakukan aktivitas di partai politik.
Disinilah Muhammadyah sedang membangun peradaban non-material, bahwa kebahagiaan manusia itu tidak selalu berprestasi materialistik, tetapi pencapaian peradaban non-material seperti keikhlasan, etika dan praktek baik lainnya merupakan bagian dari kebahagiaan hidup. Tingginya angka kematian di sejumlah negara yang berorientasi pada pembangunan peradaban materialistik seperti Jepang dan Korea menjadi bukti nyata, bahwa oreantasi materi tidak selalu menjadi unsur kebahagiaan seseorang, kerena umumnya mereka telah kehilangan sifat Ilahiah atau sifat spiritualitas dan sifat ini hanya ada pada manusia yang oreantasi hidup nya non-materialistik