Publikasi - Advetorial - Iklan - Bisnis - Charity

KONSELING DI PERGURUAN TINGGI

Abstrak
Di perguruan tinggi, bimbingan dan konseling sangat dibutuhkan oleh mahasiswa untuk membantu mereka dalam memilih program studi atau jurusan yang mereka pilih. Hal ini sangat penting karena banyak mahasiswa tidak memahami dan kurang informasi tentang jurusan yang mereka pilih, sehingga mereka akhirnya pindah dari jurusan yang sudah mereka pilih atau bahkan bertahan di sana tetapi dengan prestasi yang buruk. Selain itu, tujuan bimbingan dan konseling di perguruan tinggi adalah untuk membantu mahasiswa menilai dan menganalisis diri mereka sendiri, serta hubungannya dengan pemahaman mereka tentang dunia kerja dan keputusan yang akan mereka ambil. Jenis layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling di perguruan tinggi termasuk orientasi, informasi, penempatan dan penyaluran, dan konseling.

Kata Kunci : Konseling, Perguruan Tinggi, Mahasiswa.

Abstract
In colleges, guidance and counselling is very much needed by students to help them in choosing the curriculum or major they choose. This is very important because many students do not understand and lack information about the major that they choose, so they end up moving from the major they have chosen or even staying there but with poor performance. In addition, the goal of mentoring and counselling at the college is to help students evaluate and analyze themselves, as well as their relationship to their understanding of the world of work and the decisions they will make. Types of services and activities supporting mentoring and counselling in colleges include orientation, information, placement and distribution, and counseling.

Keywords : Counselling, College, Student.
PENDAHULUAN
Setiap manusia dalam hidupnya tidak terlepas dari masalah-masalah yang dihadapi dan tentu ia ingin memecahkan masalahnya sendiri. Masalah tersebut bersifat kompleks dan beragam serta berbeda tingkatannya sesuai dengan perkembangan zaman dan persepsi manusia terhadap zaman itu. Apabila masalahnya tidak dapat diatasi sendiri, maka ia memerlukan bantuan orang lain untuk mengatasinya. Itupun kalau ia sadar bahwa ia memiliki masalah dalam dirinya, sebab masalah tersebut tidak disadari oleh seseorang dan menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa saj. Bimbingan dan konseling banyak bentuk yang bersifat informal memang telah dilaksanakan oleh perguruan tinggi melalui diskusi-diskusi, di mana dari masalah yang didiskusikan bersama antara mahasiswa dan dosen, dapat diperoleh fakta dan pendapat yang bisa membantu setiap lembaga mengambil manfaat atau mencari jalan keluar bagaimana mengatasi masalah belajar dari mahasiswa di perguruan tinggi melalui bimbingan dan konseling.
Mahasiswa adalah sebutan bagi orang yang sedang menempuh pendidikan tinggi di sebuah perguruan tinggi. Menurut Hartaji, mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan kerencanaan dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat dan tepat merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, yang merupakan prinsip yang saling melengkapi. Adaptasi di lingkungan perguruan tinggi bagi mahasiswa tidak jarang menimbulkan permasalahan. Mahasiswa dituntut untuk dapat menciptakan hubungan sosial yang baik, terutama dengan teman sebaya. Dauenhauer memaparkan bahwa masalah lain yang dimiliki mahasiswa yaitu gangguan kecemasan sosial. Individu merasa cemas ketika berpartisipasi dalam seminar atau presentasi, dan menilai kompetensi diri mereka buruk sehingga evaluasi terhadap diri menjadi negatif tak terkecuali pada prestasi akademik. Permasalahan sosial yang terjadi pada mahasiswa merupakan masalah yang perlu diteliti karena gangguan yang dialami dapat menjadi sebuah ancaman dan tekanan bahkan stres dalam diri mahasiswa dan dapat menghambat hubungan sosial dengan orang lain terutama pada proses perkuliahan dan prestasi akademik. Sebagian mahasiswa masuk ke dalam kategori remaja akhir yaitu 18 tahun, dan sebagian yang lain masuk dalam kategori dewasa awal periode pertama yaitu 21-24 tahun (Monks). Kehidupan dewasa awal pada mahasiswa tidak terlepas dari berbagai macam permasalahan yang ada dalam setiap tahap perkembangannya. Permasalahan yang ada tersebut dapat bersumber dari berbagai macam faktor seperti dalam diri sendiri, keluarga, teman sepergaulan atau lingkungan sosial. Bimbingan konseling di perguruan tinggi merupakan hal yang relatif baru dan hingga kini belum banyak dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh berbagai Perguruan Tinggi, meskipun seminar ataupun training mengenai Bimbingan dan Konseling sudah banyak dilaksanakan tahap demi tahap bagi dosen-dosen yang umumnya juga menjadi Pembimbing Akademik. Dengan kata lain, Bimbingan dan Konseling belum membudaya di kalangan Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta. Secara ideal, mestinya setiap fakultas mempunyai wadah Bimbingan dan Konseling yang dikelola dan dilaksanakan oleh tenaga-tenaga yang profesional. Akan tetapi karena tenaga profesional tersebut tidak mencukupi, maka diadakan seminar ataupun training mengenai Bimbingan dan Konseling dengan harapan agar para dosen yang menjadi konselor fakultas dan pembimbing akademik dapat melaksanakan tugas mereka dengan baik.
Secara umum tujuan bimbingan pada perguruan tinggi adalah membantu mahasiswa dengan mengiringi proses perkembangannya melewati masa-masa di perguruan tinggi, sehingga terhindar dari kesulitan, dapat mengatasi kesulitan, membuat penyesuaian yang baik, dan membuat arah diri sampai mencapai perkembangan optimal. Perlunya bimbingan konseling di perguruan tinggi tidak hanya ada dalam undang-undang tetapi lebih mementingkan untuk memfasilitasi para mahasiswa agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai perkembangannya, seperti: aspek fisik, emosi, intelektual, moral-spritual, akademik, dan kepribadian adalah untuk meningkatkan kemandirian mahasiswa baik dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar maupun dalam pengelolaan dirinya sebagai mahasiswa. Program pelayanan konseling di perguruan tinggi tidak berbeda jauh dengan pelayanan di sekolah menengah, dimana dapat dipahami juga sebagai suatu rangkaian kegiatan bimbingan dapat di konsepkan yang terencana, terorganisasi dan terkoordinasi selama periode waktu tertentu, misalnya satu tahun ajaran. Satuan program pelayanan bimbingan konseling berupa rencana kegiatan layanan dan kegiatan pendukung BK pada periode tertentu yang diselenggarakan di Universitas / Sekolah Tinggi / Akademik / Politeknik / ataupun Institusi. Kegiatan pelayanan terorganisir melalui unit pelayanan bimbingan dan konseling (UPBK), unit inilah yang menjadi wadah penyelenggara kegiatan pelayanan BK bagi mahasiswa, warga kampus dan anggota masyarakat lainnya.
Adapun unsur-unsur yang ada dalam program pelayanan BK di perguruan tinggi antara lain memuat kebutuhan sasaran layanan/kegiatan pendukung, bidang bimbingan (pribadi, sosial, belajar dan karier), jenis layanan/kegiatan pendukung, sarana/prasarana yang dibutuhkan, pelaksana layanan/kegiatan pendukung dan pihak-pihak yang dilibatkan, volume, waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan layanan, kemungkinan kerjasama dengan pihak lain, evaluasi serta pengawasan. Sedangkan tahapan dalam pelaksanaan program pelayanan BK di perguruan tinggi mulai dari awal hingga akhir secara bertahap dapat dibagi ke dalam tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap penilaian, tahap analisis hasil, serta tahap tindak lanjut/arah ke depan. Setiap tahapan tersebut memiliki karakteristik dan langkah kerja konkret yang berkesinambungan dengan tahapan berikutnya.
METODE
Penelitian ini memakai tipe studi lapangan (field research) menggunakan pendekatan kualitatif, yakni dimana pencarian data dilakukan di lapangan dalam hal ini yaitu mengenai implementasi layanan bimbingan dan konseling dalam menumbuhkan minat mahasiswa dalam meneruskan studi lanjut ke perguruan tinggi. Konsep penelitian lapangan (field research) yakni peneliti menunjukkan secara langsung pada objek penelitian ke wilayah (lokasi penelitian) dan dipengaruhi seperti penelitian yang lainnya. Penelitian ini memakai pendekatan kualitatif deskriptif yakni dari suatu data studi penelitian digunakan untuk menggambarkan serta mengidentifikasi sikap manusia, pemikiran, fenomena, sikap masyarakat, kegiatan sosial, ragam peristiwa dan persepsi yang berbeda dari seorang atau kelompok. Metode penelitian kualitatif disebut dengan metode penelitian naturalis dikarenakan penelitian dilaksanakan dalam kondisi alam (natural setting).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Konseling di Perguruan Tinggi
Bimbingan dan konseling Islam dalam pendidikan sangat penting sehingga penting sekali untuk memahami secara awal mula perjalanan sejarah terbentuknya layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Lahirnya Bimbingan dan konseling dapat di pahami bahwa adanya persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat barat, yaitu gangguan mental dan penanganan persoalan pendidikan dan pekerjaan di sekolah. Perkembangan bimbingan dan konseling dalam perjalanannya berdasarkan sejarah sebagai berikut: 1. Tahun 1900-1909 (Era Perintisan) Tiga tokoh utama pada periode ini adalah Jesse B. Davis, Frank Parsons, dan Clifford Beers. Davis adalah orang pertama yang mengembangkan program bimbingan yang sistematis di sekolah-sekolah. Pada tahun 1907, sebagai pejabat yang bertanggung jawab pada the Grand Rapids (Michigan) school system, ia menyarankan agar guru dan dosen di kelas yangmengajar English Composition untuk mengajar bimbingan satu kali seminggu yang bertujuan untuk mengembangkan karakter dan mencegah terjadinya masalah. Sementara itu, Frank Parsons di Boston melakukan hal yang hampir sama dengan Davis. Ia memfokuskan pada program pengembangan dan pencegahan. Ia dikenal karena mendirikan Baston’s Vocational Bureau pada tahun 1908. Berdirinya biro ini empresentasikan langkah maju diinstitusionalisasikannya bimbingan (vocational guidance). Pada tahun yang sama ketika Frank Parsons mendirikan Vocational Bureau (1908), William Heyle juga mendirikan Community Psychiatric Clinic untuk pertama kalinya. Selanjutnya, The Juvenille Psychopathic institute didirikan untuk memberi bantuan kepada para pemuda di Chicago yang mempunyai masalah.
Dalam keadaan tersebut terlibat pula para psikolog, tentu saja tidak mungkin berbicara soal kesehatan mental tanpa melibatkan orangorang yang cukup terkenal, seperti Sigmund Freud dan Joseph Breuer. Tahun 1910-1970 Pada era ini konseling mulai diinstitusionalisasikan dengan didirikannya the National Vocational Guidance Association (NVGA) pada tahun 1913. Selain itu, pemerintah Amerika Serikat mulai memanfaatkan pelayanan bimbingan untuk membantu veteran perang. Istilah bimbingan (guidance) ini kemudian menjadi label populer bagi gerakan konseling di sekolah-sekolah selama hampir 50 tahunan. Program bimbingan yang terorganisasikan mulai muncul dengan frekuensi tinggi di jenjang SMP sejak 1920-an, dan lebih intensif lagi di jenjang SMA dengan pengangkatan guru BK yang khusus dipisahkan untuk siswa laki-laki dan siswa perempuan. Titik inilah era dimulainya pemfungsian disiplin, kelengkapan daftar hadir selama satu tahun ajaran dan tanggung jawab administrasi lainnya. Akibatnya banyak program pendidikan dekade ini menitikberatkan pada upaya membantu siswa-siswa yang mengalami kesulitan akademis atau pribadi dengan mengirimkan mereka ke guru BK untuk mengubah perilaku atau memperbaiki kelemahan. Gerakan konseling untuk SD juga dimulai di akhir dekade 1920-an hingga awal dekade 1930-an, dipicu oleh tulisan-tulisan dan kerja keras William Burnham yang menekankan peran guru untuk memajukan kesehatan mental anak yang memang banyak diabaikan diperiode tersebut. Pada dekade 1940-an ditandai munculnya teori konseling Non-Directive yang dipelopori oleh Carl Rogers. Ia mempublikasikan buku yang berjudul Counseling and Psychotherapy pada tahun 1942. Pada tahun 1950-an muncul pula berbagai organisasi konseling yaitu the American Personnel and Guidance Association (APGA). Selanjutnya disahkannya the National Defense Education Act (NDEA) pada tahun 1958.
Undang-undang ini memberikan dana bagi sekolah maupun diperguruan tinggi untuk meningkatkan program konseling sekolah.Konseling mulai melakukan diversifikasi ke area yang lebih luas diawali pada tahun 1970. Konseling mulai berkembang di luar sekolah seperti di lembaga-lembaga komunitas dan pusat-pusat kesehatan mental. Tahun 1980-an Dekade ini profesi konseling sudah mulai berkembang dengan munculnya standarisasi training dan sertifikasi. Pada tahun 1981 dibentuk the Council for Accreditation of Counseling and Related Educational Program (CACREP). CACREP berfungsi untuk melakukan standarisasi pada program pendidikan konseling di tingkat master dan doktor pada bidang konseling sekolah, konseling komunitas, konseling kesehatan mental, konseling perkawinan dan keluarga, dan konseling di Perguruan Tinggi. Tahun 1990-an Pada akhir ke 19-an, spesialis psikiatri telah mendapat tempat berdampingan dengan spesialis pengobatan lain. Dengan makin stabilnya posisi psikiatri dalam penanganan psikologis atau yang lebih dikenal dengan sakit mental, muncullah psikiatri sebagai spesialisasi baru. Spesialisasi baru ini dipelopori oleh Van Ellenberger Renterghem dan Van Eeden. Selama tahun 1980-an dan 1990-an, sejumlah permasalahan sosial mempengaruhi anak-anak yang pada gilirannya mengakselerasi pertumbuhan konseling. Isu-isu seperti penyalah-gunaan obat, penganiayaan anak, pelecehan seksual dan pengabaian anak, plus meningkatnya minat dan atensi, bagi pencegahannya, mengarah kepada pemandatan konseling.
Teori Konseling di Perguruan Tinggi
Prayitno dan Erman Amti menerangkan bahwa ‘‘permasalahan yang dialami oleh warga masyarakat tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah dan keluarga saja, melainkan juga di luar keduanya. Warga masyarakat di lingkungan perusahaan, industri, kantor-kantor (baik pemerintah maupun swasta) dan lembaga kerja lainnya, organisasi pemuda dan organisasi kemasyarakatan, bahkan dilembaga pemasyarakatan, rumah jompo, rumah yatim piatu atau panti asuhan, rumah sakit, perguruan tinggi, dan lain sebagainya. Seluruhnya tidak terhindar dari kemungkinan menghadapi masalah. Oleh karena itu diperlukan jasa bimbingan dan konseling” Fiah menjelaskan bahwa ‘‘upaya yang dilakukan oleh pelayanan konseling mahasiswa yang ditujukan untuk memperbaiki kualitas belajar dan kehidupan mahasiswa, mengintegrasikan kelompok-kelompok mahasiswa baru. Untuk menarik dan mempertahankan mahasiswa menjadi kritis dan dinamis, lembaga-lembaga pendidikan tinggi berusaha mempertahankan dan menjadikan mahasiswa berkualitas, menjamin menempatan para lulusan, mengembangkan dukungan para alumni, dan menguatkan keterlibatan dan peranan seluruh civitas akademika”.
Nana Syaodih Sukmadinata berpendapat bahwa ‘‘program layanan bimbingan konseling tidak hanya diperlukan di sekolah tapi juga di masyarakat, lingkungan kerja dan di perguruan tinggi, disesuaikan dengan karakteristik subjek bimbingan dengan jenis masalah yang dihadapi berbeda- beda tiap individu” Merujuk dari beberapa pendapat oleh para ahli di atas, keberadaan konselor dalam pendidikan tinggi sangatlah diperlukan, bahkan peran yang dilakukan oleh konselor perguruan tinggi sangat luas. Menurut Achmad Juntika secara keseluruhan yang dihadapi mahasiswa dapat dikelompokkan atas dua kategori, yaitu problem akademik (studi) dan problem non akademik (sosial pribadi). Masalah akademik merupakan hambatan atau kesulitan yang dihadapi oleh mahasiswa dalam merencanakan, melaksanakan, dan memaksimalkan belajarnya. Beberapa masalah studi yang mungkin dihadapi mahasiswa sebagai berikut:
Kesulitan dalam mengatur waktu belajar yang disesuaikan dengan banyaknya tuntutan aktivitas perkuliahan, serta kegiatan kemahasiswaan lainnya.
Kesulitan dalam mendapatkan buku sumber belajar.
Kurang motivasi atau semangat belajar.
Memiliki kebiasaan belajar yang salah.
Kurang minat pada profesi.
Rendahnya rasa ingin tahu dan ingin mendalami ilmu pengetahuan.
Selanjutnya masalah sosial pribadi merupakan masalah yang dihadapi mahasiswa dalam mengelola kehidupannya sendiri serta menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial, baik di kampus maupun di lingkungan tempat tinggal. Beberapa masalah yang mungkin dihadapi mahaiswa sebagai berikut :
a. Kesulitan ekonomi.
b. Kesulitan menyesuaikan diri dengan teman sesama mahasiswa.
c. Kesulitan menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitar tempat tinggal.
d. Masalah dalam keluarga.
Praktik pelaksanaan konseling di perguruan tinggi tidak banyak berbeda
dengan di sekolah menengah, penekanan pada kondisi akademik dan kemandirian
mewarnai pelaksanaan konseling (Prayitno dan Erman Amti). Kemandirian tersebut
dapat dilihat dari beberapa ciri-ciri pokok, yaitu:
a. Mengenal diri sendiri dan lingkungan.
b. Menerima diri sendiri dan lingkungan dengan positif dan dinamis.
c. Mengambil keputusan untuk dan oleh diri sendiri.
d. Mengarahkan diri sesuai keputusan.
e. Mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan potensi dan minat yang
dimiliki.
Dasar Hukum Konseling di Perguruan Tinggi
Usulan Pembentukan Unit Pelaksanaan Teknis Bimbingan dan Konseling di Perguruan Tinggi sebagaimana termuat dalam lampiran pada surat edaran kepada Pimpinan Perguruan Tinggi Swasta dalam wilayah IV Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta, nomor 151/K.IV/Adku/I/82, tanggal 12 Januari 1982. Dasar pemikiran operasional dirumuskan sebagai berikut: ‘‘Bahwa setiap mahasiswa dalam kehidupan pada dasarnya tidak bisa lepas dari kesulitan-kesulitan.
Bahwa kenyataannya tidak semua mahasiswa mampu memecahkan kesulitannya sendiri, sehingga mahasiswa yang tidak mampu memecahkan sendiri perlu pertolongan orang lain”. Pertolongan yang dimaksud ialah bantuan melalui pelayanan bimbingan.
Tujuan Konseling di Perguruan Tinggi
Tujuan dari bimbingan dan konseling di perguruan tinggi tidak berbeda dengan tujuan pelayanan bimbingan di jenjang pendidikan di bawahnya, yaitu supaya manusia muda mampu mengatur hidupnya sendiri, mengembangkan kepribadiannya sesuai dengan potensi-potensi yang dimiliki, menjamin taraf kesehatan mental yang wajar, mengintegrasikan studinya dalam pola kehidupan sehari-hari, dan merencanakan masa depannya dengan mengingat situasi hidupnya yang konkret. Kesamaan dalam tujuan itu tidak berarti bahwa isi dan pengelolaan program bimbingan bagi mahasiswa akan sama dengan program bimbingan siswa di jenjang pendidikan menengah.
Aspek Program Konseling di Perguruan Tinggi
Ada enam aspek yang berkaitan dengan program bimbingan di perguruan tinggi di antaranya:
Dengan bersumber pada UUSPN, Pasal 16 yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah, PP Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi menetapkan: ‘‘Tujuan pendidikan tinggi adalah menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/ataumenciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunanya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional”.
(Pasal 2) Setiap perguruan tinggi dalam menentukan tujuan institusionalnya harus bertumpu pada tujuan pendidikan nasional untuk jenjang pendidikan tinggi. Tujuan institusional suatu institusi pendidikan tinggi, baik negeri maupun swasta, seharusnya terpaparkan dengan jelas dalam Statuta perguruan tinggi itu. Dari perumusan tujuan instituisional ini akan jelas pula apakah pendidikan tinggi itu tergolong yang akademik dan / atau profesional. Dalam PP Nomor 3, Tahun 1990 tersebut di atas, Pasal 4 dijelaskan bahwa pendidikan akademik mengutamakan peningkatan mutu dan memperluas wawasan ilmu pengetahuan, seperti terjadi di sekolah tinggi, institusi serta universitas. Dalam pendidikan profesional diutamakan peningkatan kemampuan penerapan ilmu pengetahuan, seperti terjadi di akademik, politeknik, sekolah tinggi, institusi dan universitas (yang kelima-limanya). adalah suatu satuan perguruan tinggi yang mandiri).
Berbeda dengan peraturan pemerintah tentang pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang telah dibahas dalam bagian-bagian terdahulu, di antara tenaga pendidik yang bertugas disuatu perguruan tinggi tidak disebutkan tenaga bimbingan/ pembimbing/konselor, selain dosen hanya disebutkan

‘‘Tenaga penunjang akademik’’ (Pasal 98) dan tidak jelas apakah tenaga bimbingan profesional dipandang sebagai tenaga penunjang akademik. Di samping itu, di antara berbagai unit pusat dan lembaga (Pasal 41-42) tidak disebutkan unit pembinaan mahasiswa seperti unit kesehatan, kesejahteraan sosial atau bimbingan (Biro Konsultan, Pusat Bimbingan). Oleh karena itu pelayanan bimbingan di suatu institusi perguruan tinggi harus bertumpu pada tujuan institusional dan pada ciri khas pendidikan di lembaga bersangkutan, tetapi tidak memiliki sumber tertulis resmi dan formal seperti pedoman bimbingan dan konseling di SMA.
Masa mahasiswa meliputi rentang umur dari 18/19 tahun sampai 24/25 tahun. Rentang umur itu masih dapat dibagi-bagi atas periode 18/19 tahun sampai 20/21 tahun, yaitu mahasiswa dari semester I sampai dengan semester IV; dan periode waktu 21/22 tahun sampai 24/25 tahun, yaitu mahasiswa dari semester V sampai dengan semester VIII. Pada rentang umur yang pertama pada umumnya tampak ciri-ciri sebagai berikut: stabilitas dalam kepribadian mulai meningkat; pandangan yang lebih realistis tentang diri sendiri dan lingkungan hidupnya; kemampuan untuk menghadapi segala macam permasalahan secara lebih matang; gejolak-gejolak dalam alam perasaan mulai berkurang.
Meskipun demikian, ciri khas dari masa remaja sering-sering masih muncul, tergantung dari laju perkembangan masing-masing mahasiswa. Pada rentang umur yang kedua pada umumnya tampak ciri-ciri sebagai berikut: usaha memantapkan diri dalam bidang keahlian yang telah dipilih dan dalam membina hubungan percintaan; memutar-balikkan pikiran untuk mengatasi aneka ragam masalah, seperti kesulitan ekonomi, kesulitan mendapat kepastian tentang bidang pekerjaan kelak, kesulitan membagi perhatian secara seimbang antara tuntutan akademik dan tuntutan kehidupan perkawinan (kalau sudah menikah); ketegangan atau stress karena belum berhasil memecahkan berbagai persoalan mendesak secara memuaskan. Kebutuhan-kebutuhan yang dihayati terutama bersifat psikologis, seperti mendapat penghargaan dari teman, dosen dan sesama anggota keluarga; mempunyai pandangan spritual tentang makna kehidupan manusia; menikmati rasa puas karena mencapai sukses dalam studi akademik; memiliki rasa harga diri dengan mendapat tanggapan positif dari jenis yang lain. Aneka tugas perkembangan yang dihadapi pada dasarnya adalah mahasiswa di semester permulaan/awal harus menyesuaikan diri dengan pola kehidupan di kampus dan di luar kampus, baik yang menyangkut hal-hal akademik maupun yang non akademik; mahasiswa di semester tinggi harus memantapkan diri dalam mengejar cita-cita di bidang studi akademik, di bidang pekerjaan, dan di bidang kehidupan berkeluarga. Beraneka kesulitan yang timbul dapat dibagi atas dua kelompok, yaitu kesulitan akademik dan kesulitan non-akademik, meskipun kedua kelompok kesulitan itu berpengaruh yang satu terhadap yang lain. Kesulitan mendasar di bidang akademik yang kerap disebut-sebut ialah :
Kurang menguasai cara belajar mandiri, kurang berhasil mencerna bahan perkuliahan dan materi literatur wajib; kurang mampu mengatur waktu dengan baik; motivasi belajar kurang jelas; salah pilih program studi; hubungan dengan dosen renggang atau jauh.

Kesulitan mendasar di bidang non-akademik yang kerap disebut-sebut ialah: kesulitan menanggung biaya pendidikan; kekurangan dalam fasilitas belajar, perumahan dan makanan bergizi,; ketegangan bergaul dengan teman, misalnya di tempat kos; konflik dengan pacar; ketegangan dengan lingkungan keluarga dekat, stress dalam batin sendiri, yang bersumber dari rasa rendah diri, rasa bosan, rasa frustasi dan konflik antara kebutuhan-kebutuhan psikis.
Pola dasar bimbingan yang sebaiknya diikuti adalah pola generalis untuk sejumlah kegiatan bimbingan tertentu, misalnya orientasi studi, perkenalan dengan cara belajar mandiri, pembahasan tantangan bagi mahasiswa sebagai manusia pembangun, pertemuan untuk mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan pergaulan dengan hubungan antara jenis kelamin. Dalam mengelola kegiatan-kegiatan itu daspat diikiut sertakan sejumlah dosen yang mampu dan berminat.
Untuk sejumlah kegiatan lain sebaiknya berpegang pada pola spesialis, seperti wawancara konseling dan tatap muka dengan penasihat akademik untuk pembahas perkembangan dalam studi. Dalam kegiatan itu perlu dilibatkan tenaga konselor profesional dan beberapa dosen (penasihat akademik). Pola relasi-relasi manusia dapat diterapkan dalam kegiatan seperti pertemuan berkala untuk mendalami komunikasi sosial dan weekends dalam komunikasi antar pribadi. Jadi terdapat kombasi antara tiga pola itu, dengan tekanan pada pola generalis supaya terjangkau jumlah mahasiswa yang semaksimal mungkin.
Komponen bimbingan yang diutamakan ialah layanan Konseling sepanjang masa studi. Pengumpulan data kerap dikaitkan dengan wawancara konseling, sejauh masalah yang menuntut hal itu, misalnya testing bakat khusus dalam kasus meninjau kembali pilihan program studi, atau testing minat menjelang suatu pilihan spesialisasi, atau testing kepribadian dalam kasus yang diduga menunjukkan aneka gejala neurotik.
Penempatan juga kerap dikaitkan dengan wawancara konseling, sejauh menyangkut penyusunan rencana masa depan, atau diwujudkan dalam pengelolaan berbagai pertemuan kelompok dalam pemantapan perencanaan karier. Komponen pemberian informasi muncul pada waktu-waktu tetentu, misalnya selama pekan orientasi studi atau pada waktu dijadwalkan ceramah umum tentang berbagai segi kehidupan.
Kesempatan bagi para dosen penasehat akademik tertentu seharusnya tersedia.
Bentuk bimbingan yang diutamakan tergantung dari layanan bimbingan yang diberikan. Pemberian informasi pada umumnya terlaksana dalam bentuk bimbingan kelompok, sedangkan pengumpulan data dan penempatan kerap dilaksanakan dalam bentuk bimbingan individual. Wawancara konseling terutama terealisasi dalam bentuk bimbingan individual; bilamana tersedia tenaga yang kompeten, dapat juga diselenggarakan dalam bentuk bimbingan kelompok. Sifat bimbingan yang paling mencolok ialah sifat persevatif. Sifat remedial muncul dalam kasus-kasus salah pilih program studi atau gangguan kesehatan mental yang serius.
Semua ragam bimbingan adalah relevan, namun tergantung dari perencanaan program bimbingan pada waktu kapan ragam bimbingan tertentu akan diprioritaskan, sesuai pula dengan kebutuhan mahasiswa itu di perguruan tinggi tertentu. Di tempat A ragam bimbingan akademik mungkin diutamakan, karena ternyata kebanyakan mahasiswa mengalami kesulitan dalam strudi akademik; di tempat B ragam bimbingan pribadi-sosial mungkin perlu diutamakan, karena kebanyakan mahasiswa ternyata mudah tergoyahkan bila menghadapi suatu konflik dalam batinnya sendiri atau dengan rekan mahasiswa. f. Tenaga-tenaga bimbingan macam apa yang dilibatkan dalam pelayanan bimbingan tergantung dari luasnya pelayanan bimbingan yang terdapat di perguruan tinggi tertentu. Secara ideal terdapat Biro Bimbingan dan Konseling atau Pusat Bimbingan, yaitu suatu lembaga yang berada di atas tingkat fakultas dan bertanggung jawab langsung kepada Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan. Tugas Biro atau Pusat itu ialah merencanakan dan mengkoordinasi semua kegiatan bimbingan dikampus serta mengadakan angka kursus penataran bagi sumber tenaga yang sebenarnya bukan tenaga profesional, misalnya penasihat akademik dan mahasiswa-mahasiswa tertentu. Kalau terdapat Biro atau Pusat itu, maka jajaran tenaga yang dilibatkan adalah :
Seorang ahli bimbingan yang menguasai seluk-beluk pelayanan bimbingan di suatu perguruan tinggi. Orang itu menjabat sebagai Kepala Biro atau Pusat Bimbingan; dia bukan dosen dalam suatu bidang studi akademik. Tugasnya ialah merencanakan, mengkoordinasi, dan mengevaluasi semua kegiatan bimbingan di kampus; jadi sebagian besar waktunya digunakan untuk keperluan administarasi bimbingan.
Di samping itu, tenaga ini dapat berperan sebagai konselor untuk semua mahasiswa dari fakultas manapun juga, yang ingin membicarakan suatu masalah dalam wawancara konseling (general counselor). Semua kasus yang memerlukan bantuan dari seorang ahli di luar kampus, disalurkan melalui koordinator itu.
Seorang ahli dalam bidang testing psikologis, yang berkantor di Pusat Bimbingan dan melayani semua permohonaan testing dalam rangka Pengumpulan Data.
Seorang yang berpengalaman dalam hal melamar pekerjaan danmelayani mahasiswa dalam seluk-beluk yang berkaitan dengan pelamaran pekerjaan. Orang itu tidak perlu memiliki ijazah sebagai tenaga bimbingan profesional. Tenaga ini berkantor di Pusat Bimbingan.
Beberapa dosen-konselor, yaitu sebagai akademik yang mencurahkan sebagian waktu untuk pelayanan bimbingan, terutama wawancara konseling. Sumber tenaga ini berkantor di fakultasnya sendiri-sendiri, namun bekerja di bawah koordinasi kepala biro bimbingan, terutama yang menyangkut bimbingan kelompok. Di perguruan tinggi yang mengelola Fakultas Psikologi, Fakultas Keguruan dan Fakultas Ilmu Pendidikan tidak akan begitu sulitmendapatkan beberapa dosen-konselor, yang melayani mahasiswanya di fakultas masing-masing. Mereka yang dapat melayani mahasiswa dari fakultas/jurusan yang lain dapat berkantor di biro bimbingan pada waktu-waktu tertentu. Di perguruan tinggi yang tidak mempunyai fakultas yang disebutkan di atas, lebih sulitlah mendapatkan beberapa tenaga dosen-konselor. Mereka yang mampu dan berminat akan membutuhkan penataran yang cukup lama dan memadai supaya dapat menunaikan tugasnya dengan baik. Tentu saja para dosen-konselor itu harus membedakan dengan tegas antara tugasnya di bidang pengajaran dan di bidang bimbingan,
Supaya mahasiswa merasa bebas dalam mengemukakan semua permasalahan dan tidak merasa takut penilaian di bidang studi akademis akan dipengaruhi secara negatif.
Semua penasihat akademik atau dosen-wali. Meskipun mahasiswa menghadap penasihat akademiknya terutama untuk membicarakan kemajuan di bidang studi akademik, namun ada kemungkinan mahasiswa juga ingin membicarakan hal-hal yang bersifat non- akademik. Maka, sangat tepatlah kalau jajaran penasihat akademik menguasai berbagai metode dan teknik-teknik dasar dalam menyelenggarakan suatu wawancara konseling. Untuk itu mereka membutuhkan penataran secukupnya, yang menjadi tanggung jawabdari Kepala Biro Bimbingan. Jelaslah tenaga ini pun harus membedakan dengan tegas antara urusan akademik dan urusan non-akademik.
Beberapa tokoh mahasiswa yang mampu dan berminat untuk diajak bicara mengenai berbagai kesulitan hidup oleh rekan-rekan mahasiswa yang menaruh kepercayaan kepada mereka. Usaha bimbingan ini dikenal dengan nama peer counseling. Semua tokoh mahasiswa itu harus mendapat penataran separuhnya lebih dahulu, yang diusahakan oleh pusat bimbingan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada UPI YPTK Padang, yang telah memberi dukungan terhadap terlaksananya penelitian ini. Tim peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada Pengelola Jurnal Review Pendidikan dan Pengejaran (JRPP) Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai yang telah memberi review dan masukan atas terbitnya artikel ini.
SIMPULAN
Bimbingan dan konseling di perguruan tinggi merupakan usaha membantu mahasiswa untuk mengembangkan dirinya dan mengatasi problemproblem akademik serta problema sosial-pribadi yang berpengaruh terhadap perkembangan akademik mereka. Bimbingan tersebut meliputi layanan bimbingan akademik yang diberikan oleh dosen-dosen bimbingan pada tingkat jurusan/program, dan bimbingan sosial-pribadi yang diberikan oleh tim bimbingan dan konseling pada tingkat jurusan/program studi, fakultas, dan universitas.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Najah, Helmi. (2019) Implementasi Bimbingan dan Konseling Impact Islami pada Siswa SMK 1 Karanganyar. Jurnal BKdan Dakwah Islam. Vol. 16 (2).
Achmad Juntika Nurihsan, DR,M.Pd, 2006, Bimbingan Dan Konseling Dalam Berbagai Latar Kehidupan, Bandung: Refika Aditama.
Achmad Juntika Nurihsan, DR,M.Pd, 2007, Strategi Layanan Bimbingan Dan Konseling, Bandung: Refika Aditama.
Arifin dan Thohirin. Bimbingan dan Konseling di sekolah dan Madrasah (berbasis Itegrasi). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Aunur, Rahim Faqih.2001. Bimbingan dan Konseling dalam Islam. Jakarta: UII press.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung: Direktorat Pendidikan Nasional.
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan depaartemen Pendidikan Nasional, 2007. Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta.
D.A.Hartaji, Motivasi Berprestasi Pada Mahasiswa yang Berkuliah dengan Jurusan Pilihan Orangtua, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2012), hlm. 23F.M.
, Sa’adah. (2015). Konsep Bimbingan Dan Konseling Cognitive Behavior Therapy (Cbt) Dengan Pendekatan Islam Untuk Meningkatkan Sikap Altruisme Siswa.
Farid, Imam Sayuti.2002. Pokok-Pokok Bahasan Tentang Bimbingan Penyuluhan Agama Sebagai Teknik Dakwah. Bandung: Alfabetha. Gibson, Robert L. dan Marianne H. Mitchell, 2010. Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hariyanto, Farid, 2007. Bimbingan dan Konseling di sekolah dan Madrasah : berbasis itegrasi, Jakarta: PT Raja grafindo. 2007. Makalah dalam Seminar Bimbingan dan Konseling.
Kementrian Agama RI. (2015). Madrasah Indonesia: Madrasah Prestasiku. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Kementrian Agama RI.
Mὂnks, Knoers & Haditono, Psikologi Perkembangan (Pengantar dalam berbagai bagiannya), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press , 2006), hlm. 37
Nahriyatun Na’imah, Gantina Komalasari, & Eka Wahyuni, Jurnal yang berjudul: Gambaran Permasalahan Sosial Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (Survei terhadap mahasiswa Strata 1 Angkatan 2013-2015), hlm. 58. Diakses pada tanggal 7 Oktober 2023.

On Trend

Terpopuler