Oleh: Ulul Ilmi Arham
Sesak rasanya membaca berita penculikan anak yang seolah tidak ada habisnya. Mulai dari kisah diculiknya Bilqis, bocah kecil berdomisili Makassar yang ternyata menjadi korban perdagangan anak hingga ke Jambi. Alvaro Kiano, bocah SD yang sudah delapan bulan hilang saat pulang mengaji, hingga sekarang belum ada kabarnya. Dan bertambah lagi daftar anak-anak yang hilang sepulang sekolah, hilang saat bermain, hilang bertahun-tahun tanpa pernah ada kejelasan dari pihak kepolisian.
Nama mereka mungkin tidak lagi disebut dalam siaran berita, tetapi bagi para orang tua, nama-nama itu masih ada dan hidup di rumah itu. Masih dicari, masih ditunggu kapan pulang, masih diharapkan suatu hari muncul di depan pintu, walau hanya sekadar mengetuk sekali saja. Rumah yang kosong, hati yang kosong. Saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya bangun setiap pagi dengan kehampaan yang semakin menumpuk itu.
Ironisnya, berita penculikan anak terus saja berdatangan. Foto dan nama-nama itu seolah menjadi statistik suram bahwa dunia ini tak lagi aman. Anak-anak kita berada di tengah pusaran kejahatan yang bahkan sulit kita bayangkan keberadaannya.
Sebagai seorang ibu, saya bertanya-tanya, mengapa anak-anak begitu mudah dijadikan target oleh para pelaku penculikan? Setelah mengamati, sepertinya ada beberapa hal yang menjadikan anak-anak kita rentan.
Pertama, anak-anak diajarkan sopan santun tanpa diajarkan bagaimana menolak. Kita menanamkan nilai “hormati orang dewasa,” tapi tidak mengajarkan mereka bahwa tidak semua orang dewasa baik. Tidak semua orang dewasa patut dipercaya. Ketika anak berada di lingkungan asing, kita justru harus membekali mereka keberanian: keberanian untuk lari, untuk berteriak, untuk berkata tidak tanpa takut disebut tidak sopan. Sopan itu penting, tetapi keselamatan jauh lebih penting.
Kedua, lingkungan tidak lagi aman seperti dulu. Area sekolah, masjid, swalayan, hingga jalan raya idealnya memiliki CCTV atau penjagaan dasar. Akan sangat baik bila anak bersekolah di tempat yang keamanannya terjamin, namun jika tidak memungkinkan, kita sebagai orang tua perlu membuat rute aman yang dikenali anak: jalan mana yang harus ditempuh, siapa saja orang-orang dewasa yang mereka kenal dan bisa dimintai pertolongan. Kita memang tidak bisa berjalan mengantar dan menjemput anak setiap hari, tapi kita bisa membangun jaringan keamanan. Tetangga, pemilik warung, satpam, atau guru bisa menjadi mata tambahan ketika buah hati kita membutuhkan bantuan.
Ketiga, banyak keluarga mengira anak-anak pasti aman hanya karena kita mengenal area sekitar anak bermain. Masalahny, pelaku kejahatan tidak selalu datang dalam bentuk orang asing. Pelaku bisa mengaku sebagai “teman ibu”, “sepupu jauh”, bahkan menyamar sebagai guru atau utusan sekolah. Menyamar menjadi seseorang yang seolah dekat dengan anak kita, mengecoh kepercayaan mereka, dan semudah itulah mereka dilarikan. Kita juga sering menganggap wajar ketika anak pulang sendiri, jajan sendiri, atau sekadar berlarian sebentar di luar pagar rumah. Padahal celah-celah kecil itulah yang menjadi waktu paling berbahaya. Terlalu banyak kasus yang bermula dari kalimat sederhana, “Cuma ditinggal sebentar.”
Keempat, kita tidak memberikan anak cukup informasi tentang kondisi dunia yang sebenarnya. Banyak dari kita takut menakuti anak hanya karena takut kebebasannya bereksplorasi terkekang. Padahal, ada cara untuk mengedukasi tanpa mengintimidasi. Anak perlu mengerti konsep bahaya, mengenali perasaan tidak nyaman berada jauh dari orang tua, tahu kapan harus menjauh, dan kapan perlu meminta tolong serta bagaimana caranya. Mereka butuh tahu langkah nyata apa yang harus dilakukan saat berada di situasi yang tidak aman, bukan hanya pesan abstrak seperti “Jangan ikut orang asing.”
Lalu apa yang bisa kita, para Ayah dan Bunda, lakukan untuk menjaga anak-anak kita dari tindak kriminal ini? Sebagai seorang ibu, saya percaya bahwa pencegahan terbaik datang dari edukasi yang realistis dan pengawasan yang kolaboratif. Sebuah edukasi yang butuh kerjasama para anggota keluarga dan simulasi yang harus terus dilakukan sampai anak hafal dan mengerti.
1. Beri aturan siapa saja yang boleh menjemput anak pulang dari sekolah atau mengaji atau dari mana pun. Misalnya, hanya Ayah, ibu, dan orang-orang yang kita percaya. Ajarkan pada anak untuk dengan berani menolak ajakan orang lain yang mengaku-aku sebagai keluarga. Lebih baik bertahan di sekolah bersama guru sambil menunggu jemputan atau minta guru menghubungi kita jika dirasa ada yang menjemput di luar kesepakatan awal.
2. Ada password keluarga yang hanya diketahui oleh orang tua, anak, dan orang terpercaya yang diminta menjemput anak. Siapa pun yang tidak tahu password, anak harus ditegaskan bahwa itu orang asing dan tidak boleh ikut dengannya. Bahkan jika orang itu tahu password tapi tidak ada pesan khusus dari orang tua bahwa nanti akan dijemput orang lain, anak tidak boleh percaya dengan mudah. Memastikan bahwa anak paham dengan instruksi akan sangat membantu dalam menjaga keselamatan anak.
3. Melatih anak untuk tahu kapan dia merasa takut, tidak nyaman, dan harus melarikan diri atau meminta pertolongan. Tidak ada yang salah dengan anak merasa takut. Justru itu adalah sinyal tubuh bahwa ia merasa tidak baik-baik saja dan orang tua harus memvalidasi perasaan itu. Entah itu perasaan asing, merasa diikuti atau diawasi, atau sekadar tidak berani, orang tua wajib mendengar dan mengecek lingkungan sekitar anak. Kita tidak pernah tahu, mungkin saja ada orang berniat jahat yang diam-diam mengintai anak kita.
4. Tentukan rumah atau orang terpercaya yang bisa dijadikan tempat aman sepanjang rute pulang dan pergi sekolah atau mengaji. Minta kesediaan para tetangga untuk membantu menjaga anak kita jika sewaktu terjadi hal yang tidak diinginkan. Ingat, mata tambahan ini akan sangat bermanfaat jika kita termasuk orang tua yang tidak bisa mengantar jemput anak.
5. Sering berkomunikasi dan bertanya tentang keseharian anak. Tidak hanya demi keselamatan tapi juga membangun quality time yang bermanfaat. Anak akan merasa nyaman bercerita, orang tua juga yakin bahwa pergaulan dan lingkungan anak memang aman. Kebanyakan kasus, pelaku yang mengincar korban justru memilih anak yang tidak dekat dengan keluarga. Pelaku akan berpura-pura menjadi sosok yang baik dan pengertian dan dengan mudah mendapatkan kepercayaan si anak kemudian melancarkan aksinya.
Dunia memang berubah. Kejahatan semakin dekat, bukan hanya sekadar tayangandi televisi, tapi nyatanya terjadi juga lingkungan tempat anak kita tumbuh. Namun, kejahatan ini tak serta merta membuat kita hidup dalam ketakutan. Kita hanya perlu membekali anak dengan pengetahuan, keberanian, dan kepekaan. Kita perlu menguatkan keluarga, memperkuat lingkungan, dan membangun sistem keamanan yang menjamin keselamatan setiap anak. It takes a village to raise a child, maka dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman untuk tumbuh kembang anak kita. Bukankah pada akhirnya, setiap orang tua hanya ingin satu hal: anak yang berangkat pagi dengan senyum;, pulang sore dengan utuh, selamat, dan tetap bahagia.

